Berlatarbelakang Aceh beberapa waktu sebelum gempa tsunami
26 Desember 2004. Tere Liye secara apik menceritakan kisah dengan tema
sederhana sebenarnya, namun menohok. Hafalan Sholat Delisa (HSD) berkisah
tentang seorang gadis kecil yang harus mampu menyelesaikan hafalan bacaan
shalat ditengah kerumitannya menghafal. Pada saat hari “setor hafalan” kampong
Delisa dilanda tsunami yang meluluhlantahkan perut Aceh (kita juga tahu berita
ini dari televisi betapa menontonnya menyesakkan dada). Delisa tidak hanya
kehilangan keluarganya, tetapi juga satu kakinya. Kondisi seperti ini tidak
mampu menghambatnya untuk tidak hafal bacaan shalat, melainkan memotivasinya
untuk benar-benar menyelesaikannya dengan sempurna.
Ada beberapa pesan yang saya rangkum setelah menonton film
ini. Pesan ini saya wakilkan pada tokoh-tokoh cerita diantaranya :
Mr. Smith Adam / SAR
Army / ABRI / Polisi
Andai saja semua militer seperti Mr. Smith, lengkap sudah
keutuhan kalimat “Kedamaian Dunia”. Solidaritas yang tinggi, empati dan
kepedulian lebih dibutuhkan masyarakat daripada ketegangan dan ke’sok’gagahan.
Seorang anggota militer yang dengan kebaikan akhlaknya akan lebih disegani oleh
siapapun dibandingkan ia petantang-petenteng dengan kumis tebal dan senjata di
tangan. Sebagai pengayom sipil, militer benar-benar diharapkan kemampuannya
(ketika Mr.Smith dan crew mengevakuasi Delisa). Seiring dengan kemampuan, hal
terpenting adalah ketulusan. Ini yang hampir sulit kita temukan pada sosok
militer. Bukan lagi rahasia kalau segala sesuatu yang berkaitan dengan
kepolisian/militer harus “ada” yang kita beri bila ingin urusan lancar. Mr.
Smith seperti pasir hitam di tengah pasir putih pantai Aceh.
Mrs.Sophie / Dokter /
Tenaga Ahli
Walau sekedar tebakan saya saja kalau Mrs. Sophie adalah
seorang non muslim. Melihat tingkahnya ia menjelma bak jiwa Maria pada film
Ayat-Ayat Cinta. Kepribadiannya bak malaikat pembawa rahmat. Ia begitu tekun
menemani hari-hari sulit Delisa dan menanti kesembuhan pasiennya itu dengan
ikhlas. Mrs. Sophie tidak hanya cantik diluar melainkan kecantikan sesungguhnya
terpancar dari dalam dirinya. Ketika Mrs. Sophie memotivasi Delisa untuk
bangkit dari traumanya, ketika itulah keahlian seorang dokter dituntut. Seorang
dokter bukan hanya harus pandai memainkan suntikan, obat-obatan atau antibiotic
lainnya (eksternal) melainkan pandai memberikan stimulan pikiran positif
(internal) kepada seorang pasien yang dia cintai. Malu saya sebenarnya ketika
melihat ulah sebagian dokter di negeri ini. Selama tahun 2011 lalu, telah
berapa liputan berita yang saya saksikan mengenai ketidaknyamanan pasien
terhadap dokter yang merawatnya. Saya kira dalam dunia kesehatan tidak hanya
butuh kualitas otak (ilmu/keahlian) tetapi kualitas hati (iman/ketulusan) yang
jauh lebih penting demi kesembuhan pasien secara general.
Ko Acan / Orang lain
yang baik hati
Saya begitu terharu ketika Ko Acan memberikan harga khusus
untuk kalung yang diinginkan Delisa karena alasan “menghafal shalat”. Andai
orang disekitar mereka (maksud saya Delisa dan anak-anak sebayanya) ini
mendapat dukungan /perhatian yang begitu besar untuk urusan agamanya. Maka,
saya yakin nantinya akan mencium aroma segar dari generasi yang tumbuh di masa
mendatang.
Umam / Tiur / Seorang
Sahabat
Sosok Umam dalam cerita ini sebenarnya sosok sebagian besar
anak-anak (terutama anak laki-laki). Nakal, ingin menang sendiri, merasa hebat,
dan sifat-sifat lainnya yang butuh pengarahan ekstra dari orang-orang
disekitarnya. Orang seperti Umam ini, apabila ia mendapatkan jalan hidupnya
maka ia akan seperti sosok Abu Sofyan atau Umar bin Khatob yang rela
mati-matian membela jalan yang dia anggap benar. Namun terkadang sebagian besar
orang tidak mampu melihat secara jernih sifat mereka. Sehingga mereka tidak
mendapat sambutan yang baik. Tiur adalah sahabat perempuan Delisa, ia sangat
suka bersepeda dan senang mengajarkan cara bersepeda kepada Delisa. Hingga di
akhir kematian, jasadnya pun tak jauh dari sepedanya.
Fatimah / Aisyah /
Zahrah / Saudara / Keluarga
Saudara Delisa secara kebetulan semuanya perempuan. Gesekan
perasaan sering terjadi pada kisah ini. HSD mengajarkan kita bahwa seorang
saudara yang baik akan selalu memperingatkan saudaranya itu walaupun dengan
cara menyakitkan. Delisa mendapatkan dukungan yang besar pula dalam targetnya
menghafal bacaan shalat. Hal ini menjadi motivasi yang luar biasa, yang
seharusnya memang beginilah bentuk persaudaraan dalam rumah tangga yang ideal.
Melihat kondisi sekarang ditengah masyarakat kita, peran saudara hanya sekedar
berbagi tempat tidur, pelengkap urutan pada bingkai foto keluarga atau
peloncoan senior dan junior belaka.
Ust. Rahman / Guru /
Ulama / Mentor / Pembina
Melihat peran Ust Rahman yang begitu tulus memberikan
pembinaan pada anak-anak seusia Delisa dalam menyelesaikan urusan ‘akhirat’nya.
Saya seperti melihat ada banyak tipe seperti ini di berbagai daerah. Hanya saja
dalam berbagai dimensi berbeda. Seorang guru idealnya tidak hanya dituntut bisa
menyampaikan ilmu / pelajaran / tarbawi keislaman secara teoritis, namun juga
melibatkan psikologis yang butuh kreaitifitas agar bisa dikomunikasikan dengan
baik oleh terdidik/pendengar/muridnya. Pada saat Ust. Rahman memberikan cokelat
sebagai hadiah Delisa telah membuat uminya terharu karena mengucapkan kata-kata
“Delisa sayang Umi karena Allah”, Ust.Rahman bukan hanya mengerti psikologi
anak-anak, melainkan mengajarkan dengan cara “nyaman” bagi anak-anak. Perhatian
seorang ustadz/ulama/orang yang lebih tua dan lebih memahami dulu mengenai
banyak hal adalah bagian terpenting dari pembangunan generasi cemerlang di yang
akan datang. Andai saja mereka yang paham mengenai hal ini dan merasai
kerisauan yang sama, tentunya banyak hal yang menjadi pembeda secara furu’ tidaklah lagi penting. Yang terpenting
adalah bagaimana seorang guru/ustadz/ulama tersebut bisa memberikan arti bagi
ummat walau sekecil Delisa.
Abi Delisa / Ayah / Orang Tua laki-laki / Pemimpin Rumah
Tangga
Hidup ini memanglah pilihan. Diantara pilihan itu, harus
dipertanggung jawabkan. Ketika sebuah keluarga atau rumah tangga “ditinggalkan”
pemimpinnya (dalam hal ini kepala keluarga) demi sebuah pekerjaan (pilihan),
maka ketika apapun yang terjadi pada keluarga tersebut harus legowo diterima
(bertanggungjawab atas pilihan). Ini terjadi pada Abi Delisa yang bekerja
merantau jauh dari rumah yang seharusnya ada dia. Menurut pendapat saja, bisa
saja kejadiannya berbeda andai saja figure seorang ayah ada di samping ibu dan
anak-anaknya. Saya sarankan pula kepada Anda yang laki-laki yang notabennya
calon seorang ayah, sebaiknya berfikir ratusan kali bila harus terpaksa memilih
menafkahi dengan cara jauh dari keluarga. Itu saya sebut bukan menafkahi tapi
mengorbankan padalah masih banyak pilihan lain. Tapi dari sisi yang berbeda
saya melihat ketegaran iman yang luar biasa dari seorang Abi Delisa yang telah
ditinggalkan istri, 3 anak, rumah bahkan semua impiannya hanya disisakan satu
anak (tanpa satu kaki). Ketawakalan seperti ini tidak mungkin di dapati bila
iman tak bersemayam di hati. Abi Delisa adalah contoh pengelola fikiran dan
perasaan positif yang baik.
Umi Salamah / Ibu /
Orang tua perempuan
Figur seorang ibu dalam sebuah rumah tangga tak kalah
penting dari seorang ayah. Umi Salamah (ibunya Delisa) mengajarkan kita
bagaimana seharusnya seorang ibu mendidik anaknya, ia begitu sabar, ulet dan
memberikan solusi bagi semua anaknya. Seorang ibu yang menjadi kawan, teman
curhat, pembimbing bagi emosional anak-anaknya. Saya yakin andai saja seluruh
ibu-ibu dari Sabang sampai Marouke seperti Umi Salamah, maka akan begitu banyak
anak lahir dengan prestasi luar biasa terlebih karakter kepribadian yang
mempesona.
Delisa / Anak Muda
Delisa mengajarkan banyak sekali pada kita mengenai,
bagaimana ikhlas, bagaimana bergaul, bagaimana seharusnya hidup. Dia sosok
seorang anak inspirator, mampu mempengaruhi banyak orang dengan ketulusan dan
kebersihan hantinya. Tidak ada hambatan baginya untuk tetap bermain bola, walau
bencana telah merenggut ‘perangkat’ untuk bermainnya.
Dalam dinamika kehidupan kita, tentunya kita memiliki
kesamaan tokoh pada cerita ini. Coba saya ingin bertanya, siapa yang punya
sahabat yang sifatnya baik semua? atau yang tidak pernah marah, kesal, dan
risih dengan ulah kalian? Jawabnya tentu tidak bukan. Saya mengutip ungkapan dari
Jalaludin Rumi “Kalau engkau mencari seorang
teman yang tidak memiliki kesalahan, engkau tidak akan memiliki teman”. Delisa
memiliki pribadi menawan (terlepas dia masih kecil), dia tidak pernah menaruh
dendam pada Umam atau dia tidak juga pernah memperolok-olok Tiur nan lemah.
Sekarang pertanyaannya sudahkah kita perlakukan teman kita seperti gadis kecil
Delisa?
Untuk Semua
Tradisi masyarakat Aceh yang akan bangga dan puas pabila
melihat anaknya lulus tes hafalan shalat adalah sebuah tradisi yang sudah mulai
ditinggalkan daerah lain. Kita lihat sendiri masyarakat (umat Islam) sekarang
yang jauh lebih bangga bila anaknya hafal system periodic kimia, hafal 16
tenses bahasa inggris, teorema alogaritma, hafal ratusan lagu korea atau grup
band lainnya lainnya. Tanpa mengabaikan hal tersebut juga penting, saya ingin
tekankan bahwa ada yang lebih penting yaitu pelajaran langit atau “Keimanan”
yang benar. Bila diluar itu kita membangun generasi maka secara tidak langsung
kita telah membesarkan monster yang akan merusak tatanan dunia ini (bisa
dirasakan sekarang akibatnya). Melalui ‘Pesan Delisa’ marilah bapak/ibu,
abi/umi, kakak/mbak, ustadz/zah kita mulai merasai betul bahwa peranan kita di
dunia ini tak lain dan tak bukan mengajak sebanyak-banyaknya manusia untu ikut
bersama kita ke surga kelak! Tentunya dengan kombinasi ilmu akhirat dan dunia
yang diamalkan penuh keikhlasan. Ingat! Delisa berhasil menghafalkan bacaan
shalatnya karena ia tidak lagi mengharapkan kalung, cokelat atau apapun, yang
dia harapkan hanyalah keridhaan Allah sehingga mampu memotivasi dirinya sendiri,
mampu memberi kekuatan abinya, mampu memarkirkan uminya, saudaranya di surga,
dan mampu memberikan pencerahan serta pelajaran yang besar kepada masyarakat
luas bahwa Allah itu Maha Kuasa atas diri kita dan dunia ini. Marilah kita
belajar dari semua ini, sebelum alam mengajarkan kita dengan caranya yang
menyakitkan!
~:~
Embun Fajar – 10 Januari 2012, 21:25 wib – Desa Aur Muara
Enim
Kepada teman yang belum nonton silahkan nonton, yang sudah
silahkan buat resensinya!
Terima kasih kisahnya Tere Liye film kedua yang membuat air
mata saya tertitik setelah fil pertama “Alangkah Lucunya Negeri Ini” begitu
membuka mata hati dan memotivasi saya bahwa saya bisa memulai hal kecil seperti
mereka yg berjiwa besar ^_^