Pertanyaan yang
acapkali menyesakki telinga seseorang di umurnya yang tidak muda lagi. Karena
pertanyaan serupa tak pernah ia dengar kala masih TK (Taman Kanak-Kanak).
Kadang kala ingin khilaf rasanya untuk balik bertanya, “Kapan mati?”
Rezeki, jodoh dan
ajal adalah satu paket yang tak bisa diganggu gugat (takdir Tuhan Yang Maha
Kuasa).
Ketika seseorang
telah merencanakan matang-matang keinginannya untuk menikah, namun begitu
banyak kendala yang menghadang dari berbagai sisi. Sedangkan, diluar sana
banyak sekali pemuda yang sama sekali tak pernah merencanakan untuk menikah, malah
duluan naik ke pelaminan. Apa hendak dikata? Sejak memahami hal inilah, saya
tak pernah lagi menanyakan (lebih tepatnya menyindir) seorang teman, terutama
yang lebih tua, dua susunan kata yang “menyesakkan” itu “Kapan Nikah?”
Secara pribadi
seseorang yang sudah mampu secara psikologis, keilmuan dan materi sebenarnya
ingin sekali juga tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun apa daya Tuhan
masih merahasiakan waktunya. Dalam kondisi seperti ini yang diharapkan seorang
joblowan/jomblowati di dunia adalah peran serta aktif memotivasi (bukan dalam
bentuk demotivasi baik verbal maupun non verbal) dan solutif mencari jalan
keluar atas permasalahannya (he,he, karena kebetulan saya dalam kondisi ini).
Hal ini memang
butuh pendekatan intensif, sehingga orang luar tidak hanya tahu secara kulitnya
saja melainkan faham hingga ke kambiumnya. Karena ada type orang yang butuh
perlakuan khusus. Maksud saya, belum tentu konklusi
(pemecahan masalah) untuk seseorang berlaku untuk orang lainnya. Menunjang ini
juga, cara pandang orang diluar yang bersangkutan sebaiknya bisa pula mengkondisikan
dirinya pada alam pemuda tersebut yang notabennya divonis siap nikah.
Ikhtiar harus
dimaksimalkan, karena itulah esensi tawakal sebenarnya. Kalau perbaikan diri
terus mengalami progress yang
signifikan, maka yakinlah sejatinya kita telah menciptakan opportunity (peluang) untuk “menggugat” takdir kita sendiri. Namun,
bila juga dari ikhtiar itu masih tidak ada hasil, tetaplah habiskan waktu guna interopeksi
diri dimana celah kekurangan kita yang harus direkonstruksi sehingga tidak
terjadi defisit kepercayaan diri selama masa penantian itu.
Menyerahkan
segala kuasa pada Yang Maha Kuasa adalah hal yang paling akhir ditempuh setelah
berusaha habis-habisan untuk segera menjawab pertanyaan kapan nikah itu. Positif thinkingnya pertanyaan “Kapan
Nikah? Itu juga anggap saja sebagai bentuk perhatian teman atau sahabat kita
yang sangat mencintai dan menyayangkan efisiensi umur kita. Nah, kita tidak
perlu memayunkan mulut, mengerenyitkan dahi, tutup mata atau malah membuat
jadwal nikah fiktif ketika pertanyaan
itu menggelegar di gendang telinga kita. So, ke depan kita sudah tahu harus
menjawabnya apa ketika orang lain bertanya :
“Kapan Nikah?”
“Saat Kesiapan
itu bertemu di titik Kesempatan”.
*embun FAJAR
(09/03/2012)
Sengaja saya
tulis guna menyuarakan isi hati baik pribadi maupun GBDP (Golongan Bujang Dalam
Penantian) agar bisa mengambil positifnya buang negatifnya. Fresh your inside, make a fresh your
outside….keep fight!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar