Menulis dan menjadi seorang
penulis sejatinya seperti sebuah perperangan. Perperangan yang harus kita
menangkan atau kita akan menjadi manusia yang kalah selamanya (pecundang:red).
Tentu dalam suatu perperangan ada musuh yang akan kita takhlukkan, ada waktu
yang menjadi patokan, akan ada teman yang mengiringi perjuangan, akan ada
keluarga yang kita tinggalkan, akan ada banyak hal yang kita korbankan.
Kita kemungkinan besar akan kalah
apabila tidak mempersiapkan amunisi yang cukup, medan yang kita kuasai, atau
strategi jitu guna memenangi perperangan. Berbagi cerita bersama pahlawan
perang yang telah berhasil meraih kemenangan hanyalah sekedarnya menambah
wawasan kita hingga tekhnik yang kita pakai sudah tepat atau belum untuk
diterapkan. Dikarenakan perbedaan kondisi situasi, banyak hal yang belum tentu
bisa dilakukan sesuai apa yang telah direkam oleh otak atas pengalaman pahlawan
tersebut. Intinya, kita jualah yang terjun kedalamnya, mencicipi aroma mesiu,
menikmati alunan desing peluru, bermandikan darah dan peluh keringat untuk
mendapati pengalaman berharga itu. Pengalaman menjadi pejuang perang yang gigih.
Jika kita ingin menjadi seorang
penulis yang ‘menang’, kita harus paham betul siapa musuh yang harus kita
takhlukkan. Apakah itu sifat malas diri sendiri, takut memulai, tidak punya
waktu menulis dan sibuk dengan hal lain, atau malah tidak ada jawaban jelas
atas pertanyaan “Untuk Apa Menang?” jadi benarlah kata Napoleon Bonaparte “Petarung yang kalah itu
biasanya adalah petarung yang sudah berpikir tak pantas menang”.
Penulis yang berpengalaman di
luar sana, telah terjun bebas pada dunia yang dicintainya. Tidak
setengah-setengah hatinya menggoreskan tinta di atas kertas putih hingga kertas
itu menjadi sesuatu yang berharga dan diminati. Mereka menyelami berbagai
pengalaman menulis, dari salah, dicaci-hina, diintervensi, menjadi kontroversi
sampai terasing di penjara. Sedangkan kita, baru akan berjalan menuju ke
pengalaman itu tapi sudah terbayang ketakutannya. Tidak diterima bila karya
kita ditolak penerbit, dibantai habis-habisan atau dibuang ke lautan. Besarnya
mental kita tak sebanding dengan besarnya mimpi kita.
Impian kita akan lahir penulis
besar seperti halnya DR. ‘Aidh Al-Qarni dari Mesir, Robert T Kiyosaki dari Jepang, atau Amru
Khalid penulis favorit saya dari Bierut, semisal di Indonesia ada deretan nama
seperti Kang Abik dari Semarang, Andrea Hirata dari Bangka Belitong, A. Fuadi
dari Padang dan Asma Nadia dari Jakarta. Adakah lahir penulis sebesar itu dari
Prabumulih? Untuk saat ini masih kita jawab dalam alam mimpi. Namun mimpi hanya
akan jadi sekedar bunga tidur bila kita masih meneruskan tidur kita bukannya
bangun dan kejar mimpi itu. Butuh tekad yang membaja dalam mengumpulkan huruf
demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraph demi paragraph
hingga menjadi tulisan luar biasa yang memberitakan pada dunia bahwa Prabumulih
kini juga bisa.
Kini Genderang perang sudah di
mulai, kita belajar perang bersama, takhlukkan musuh kita, jangan patah arang,
jatuh-bangkit-jatuh-bangkit-lalu bangkit jumlah kata “bangkit” harus lebih
banyak dari kata “jatuh” bila kita ingin memenangkan perperangan ini. Wujudkan
mimpi kita! Buktikan teman! Mari kita fastabiqul khairat membanjiri
karya kepenulisan nasional bahkan internasional dengan karya asli dari anak FLP
Prabumulih! Terus semangat karena kita ada untuk berkarya…!!!
Ketua FLP Prabumulih 2011-2013
Fajar Kustiawan 10 September 2011
– 10:09 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar