Selamat Datang, Semoga banyak ilmu yang Anda dapatkan...

Selasa, 09 Agustus 2011

ANTARA BAKSO DAN CINTA


Kini aku hanya terpaku menatapnya saja, tanpa ingin berkata-kata. Dia wanita yang baru saja kunikahi duduk manis di hadapku. Akhirnya dia yang memulai membuka pembicaraan.
“Mas, kita jalan yuk!”
“Kemana?” tanyaku masih menatap kaca di bola matanya.
“Menikmati minggu pertama pernikahan kita.”
“Iya, kemana?”
“Bagaimana kalau kita ketempat jajanan favoritku?”
“Dimana?”
“Udah deh ikut saja!”
“Baiklah, honey.”

Perempuan sederhana tapi elegan itu kupanggil istri sekarang. Dia duduk di motor bututku. Tanganya masih menggenggam stenlis jok motorku, padahal aku berharap perutku yang dia peluk. Sebenarnya perkenalanku dengannya cukup singkat, cukup banyak hal yang aku tidak ketahui dari istriku ini, mungkin dia juga begitu. Cukup hal-hal yang paling aku anggap penting saja, asal “hal itu” sudah ada padanya, sisanya urusan waktu berjalan bersama pembelajaran.

“Kita belajar bersama ya sayang!” ujarku saat itu mendampingi istriku di dapur yang sedang kebingungan membedakan mana bumbu dapur. Jangan kau tanyakan itu padaku! aku pun tak tahu, ah tapi masalah itu lekas terjawab ketika kuambil buku dari perpustakaan pribadi kami. Aha, buku “Jadi Koki Hebat Untuk Pemula” sudah ditanganku, isinya lengkap keterangan bumbu berikut gambarnya. Cukup membantu.

Ini sudah kali keberapa kami makan diluar rumah.
“Belok kiri, trus stop di depan simpang itu Mas!” tunjuknya.
“ BAKSO VIRGO “ tulisan di billboard menandakan jelas sekali tempat yang kami tuju tentu tidak menjual Nasi Goreng, Pecel Lele atau bahkan Kwetiaw.
Kami masuk memesan 2 mangkok Bakso dan 2 es campur. Isi mangkok bakso istriku berbeda ia tanpa mie putih, sedangkan aku lengkap.
“Hilang kemana mie putih mu?” tanyaku heran.
“Aku memang nggak suka mie putih. Kan aku sudah putih…” candanya.
“Ooo…” mulutku membulat.
Dia mahir sekali meracik kecap, merica, saos dan sambal dihadapannya itu.
“Kenapa berbeda sekali saat didapur ya?” pikirku.
Sekarang warna dan rasa Baksonya dengan Baksoku berbeda jauh. Punyaku hambar dan tawar. Bagaimana tidak aku belum mendesainnya sama sekali, cuma es campurku saja yang naas habis kuserumput. Kami berdua begitu menikmati jamuan malam itu.

***

“Sayang! Mana buku Resep Masakanmu itu?” tanya istriku.
“Itu di atas agendaku di meja depan.”
Istriku sekarang sudah pintar masak. Eh, maksudku baru pintar masak telor. Sudah 5 jurus yang ia kuasai, yaitu masak Telor Ceplok Mata Sapi, Telor Rebus, Telor Dadar, Telor Acak dan Pepes Telor. Lumayan.

Sudah satu bulan. Lagi-lagi dia mengajak melihat bintang. Aku tahu betul maksudnya lihat bintang adalah mengunjungi Bakso Virgo itu.

Sesampainya disana. Tak ada tempat untuk menerima kedatangan kami, kebetulan lagi ramai. Ternyata bukan hanya istriku saja memfavoritkan tempat ini.
Honey, kita cari tempat makan lain aja yuk!” bujukku.
“Cuma disini sayang Bakso yang paling enak,” jawabnya sok pengalaman.
“Iya deh, kamu kan hantunya.”
“Kita tunggu sebentar lagi pasti ada yang kelar.”

Menunggunya cukup lama, giliran menyelesaikannya cukup tak berasa. Aneh memang. Apakah aku terlalu bahagia hingga waktu rasanya datang dan pergi seperti kilat. Duhai istriku beruntungnya diriku menjadi pendampingmu, walau sebenarnya yang lebih beruntung lagi adalah dirimu mendapat pendamping seperti diriku (he…he…).

***

“Sayang, nanti siang selepas pulang kerja kalau kau tidak menemukan aku dirumah, kau tahukan harus mencariku dimana?” pesan istriku setelah mengecup punggung tanganku.
“Dirumah ibumu kan?”
“Bukan, di tempat kita biasa berdua.”
“Terus makan siangku?”
“Iya, sekalian kita makan disitu saja.”

Langit begitu cerah hari ini. Aku lelah sekali selepas bekerja. Kulihat arlojiku menunjukkan waktunya makan siang. Aku ingat pesan istriku tadi pagi. Aku pulang kerumah. Tak kujumpai dia. Sekarang aku tahu kemana harus mencarinya.
Sesampainya disana. Dia sudah memasang senyum purnama yang seharusnya belum muncul (kan malem bulannyo nongol). Dua mangkok bakso yang serupa sudah tersaji di hadapannya. Sekarang warna dan rasanya sudah sama.


***

Pasukan awan hitam menguasai langit. Gelegar petir manabuh alam. Angin kencang menyapu mukaku. Aku dalam perjalanan pulang kerumah dari tempat bekerja. Motor bututku tak bisa dipaksakan melaju mengalahkan lari angin. Sepertinya akan hujan. Akupun berusaha sehebat mungkin agar tidak menemui sang hujan bila sampai kerumah. Tapi usahaku sia-sia. Kasihan istriku pasti akan panik melihatku basah kuyup begini. Jas hujan lupa pula aku bawa.

Rintik hujan membentuk anak panah. Sasarannya adalah tubuhku. Kini tanganku yang menggigil tetap memancang gas motor berharap cepat sampai dirumah.


Akhirnya aku tiba dirumah juga.
Kenapa tidak ada sambutan salam?
Kemana istriku mengapa tidak menemui suaminya tercinta?
Apakah hujan-hujan begini ia malah pergi ke bintang? Tanda tanya menyesakki otakku. Aku masuk ke rumah langsung mencari handuk di belakang. Tak ada suara. Eits, Tidak. Ada suara tapi sepertinya isak tangis. Kudekati sumber suara itu. Dikamar. Aku masuk dan membuka pintu. Istriku sedang terisak menangis sambil memegang agendaku. Lalu dia memelukku tubuh yang lembab kini basah lagi karena air matanya menghujani pundakku.
“Ada apa honey? Kamu menangis begini,”
“Hik…hiks…Kenapa kamu tidak bilang?”
“Bilang apa sayang?” tanyaku bingung.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu paling tidak suka Bakso?”





Mau tau jawabku bukan? Ada 2 pilihan endingnya PERTAMA, sedih romantis KEDUA, bahagia ironis? Hayo pembaca yang budiman/budiwati mau pilih yang mana? Atau baca sajalah keduanya nih! Aku kasih gratis hitung-hitung sedekah mumpung masih bulan Ramadhan biar kelipatannya banyak (he..he…)


Ending Sedih Romantis

“Ada apa honey? Kamu menangis begini,”
“Hik…hiks…Kenapa kamu tidak bilang?”
“Bilang apa sayang?” tanyaku bingung.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu paling tidak suka Bakso?”
“Sayang… itu tidaklah penting. Buat apa hal kecil seperti itu menghalangi keinginan besarku untuk membahagiakanmu, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari bahkan setiap saat. Aku tidak ingin terlambat mencurahkan cintaku kepadamu. Aku tidak ingin rasa cinta ini membeku hanya karena disekitarnya ada es kaku yang membelenggu. Bukankah es itu tidak penting? Aku singkirkan saja agar hatiku mencair dan menyatu dengan hatimu honey.”
“Seperti kau seperti pula aku apa bedanya? Bila berbeda jadi satu akan semakin indah bukan? Inilah esensi menikmati perbedaan. Menikmati pengalaman. Menikmati belajar mencintai. Menikmati pernikahan kita.”
“Hiks….hikss….” aku masih mendengar lirih isak tangisnya. Kukecup keningnya dan kepalanya yang berbalut jilbab putih. Alunan rintik hujan jatuh ke bumi bercampur nada degup jantung kami, menjadi melodi cinta yang indah.

Ending Bahagia Ironis
“Ada apa honey? Kamu menangis begini,”
“Hik…hiks…Kenapa kamu tidak bilang?”
“Bilang apa sayang?” tanyaku bingung.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu paling tidak suka Bakso?”
“Sayang… untuk apa juga aku kasih tahu kamu. Toh aku tetap menikmatinya, lagian siapa juga yang mementingkan itu. Bagiku yang terpenting adalah setiap kali kamu mengajakku makan bakso, aku pastikan kamulah yang membayarnya. Maka buat apa pertanyaan apa ruginya? Toh aku tidak mengeluarkan sepeser uang pun dari dompetku, honey.”
“Hiiii….hiii….” aku kini mendengar lirih tawanya menghapus tangisnya. Ku kecup keningnya dan kepalanya yang berbalut jilbab putih tanda terima kasih telah mentraktirku.

***the end***

Embun Fajar ~ Terus Berkarya… 9 Agustus 2011 Pukul 00.15 wib.