Selamat Datang, Semoga banyak ilmu yang Anda dapatkan...

Senin, 11 Juli 2011

Penjara Cinta

Aku jadi merasa bersalah setelah mendapati kabar wanita yang kucintai itu lari dari penjara. Dia tersangka pemakai shabu-shabu. Namun Polisi berhasil menangkapnya kembali di Siangapura. Pikirku hanya koruptor saja yang berlari kesana.

Aku begitu sibuk dengan waralabaku. Bisnis minimarketku berkembang pesat. Sudah mencapai 105 outlet tersebar di 26 kota di Indonesia. Bahkan aku jadi sibuk mondar-mandir ke Singapura-Malaysia-Thailand untuk buka cabang baru disana. Clara! Pacarku itu sampai aku lupa pernah membuat komitmen padanya untuk segera menikahinya setelah S2-ku selesai. Ah, hingga semuanya jadi hancur berantakan.

Awalnya aku dan Clara saling mencintai. Aku selalu punya waktu untuk mendengar curahan hatinya. Bahuku selalu ada untuknya. Dia wanita cantik yang aku kenal saat di terowongan kereta api. Gadis itu putih cantik, anggun sekali rambutnya panjang terurai, mengenakan blus putih motif bunga-bunga, ia berjalan santai di rel. Tatapannya ke atas langit-langit terowongan membuatku penasaran pada Clara. Kadang ia senyum, seolah disana ia lihat taman surga. Aku mendekatinya dan menyapanya.
“Hai, gadis cantik apa yang kamu lihat?” tanyaku sambil mengikuti berjalan mengiringiya menjajaki balok rel.
“… “
Aku tak mendengar suara keluar dari mulut mungilnya. Kembali kutanya.
“Siapa namamu?”
Hanya senyum yang disajikannya.
Aku menggaruk kepala yang sama sekali tak gatal.
Kerata Api dari arah belakang sudah sedari tadi meneriakan klaksonnya.
Aku seolah tersihir akan tingkahnya hingga baru menyadari kerata api itu tinggal beberapa meter lagi dari kami.
Clara masih terus berjalan santai, kini membentangkan kedua tangannya, tersenyum pada Tuhan.
Kuterkam dia hingga kami berdua terpental kepinggir rel. Hampir saja tubuhku dan Clara dilumat habis kereta.

^^^

Tadi pagi aku buat janji dengan Clara untuk menemuinya di Danau dekat residen elitnya. Kedua orangtuanya kaya raya mungkin masuk dalam daftar 50 orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes.
Kami duduk berdua pada kursi panjang yang sengaja dibuat untuk memanjakan para pemilik perumahan mewah ini. Angin danau mengahadirkan kesejukkan alami. Sepertinya Clara lebih damai disini daripada udara AC dirumahnya. Lisannya mulai mengalirkan cerita—membuatku sebagai seorang lelaki yang harus kuat menahan air mata agar tak jatuh dan tak ditertawakan dunia.
Clara putri satu-satunya yang mewarisi banyak perusahaan orang tuanya, tapi dia hampir tidak ingat bagaimana bentuk wajah papi dan maminya. Clara seolah dilahirkan, dibesarkan dan tumbuh bersama para pembantu dan uang yang berlebih-lebihan tentunya. Pernah Papi dan Maminya mengajak Clara ke Belanda untuk weekend bersama. Namun yang harusnya Clara happy jadi sepi karena Papi Maminya cekcok mulut. Terjadi pertengkaran hebat. Dan pergi tanpa memperdulikan perasaan Clara.
“Aku tidak butuh itu semua, persetan pada uang, kartu kredit, berlian, rumah mewah! Aku hanya ingin Mami dan Papi menikmati hari bersamaku, setidaknya mereka kelihatan damai di mataku saja sudah cukup.” Ucap Clara dibalur derai air mata yang dari tadi juga sudah mengucur deras. Airmataku pun jadi ikut-ikutan menitik walau tak seember tapi cukup untuk menyiram bunga di pinggir danau.
Clara produk broken home.
Sejak saat itu aku berjanji untuk bisa bersama dan mendampingi hari-harinya. Sampai kami berjanji untuk menikah. Tapi situasi ini hanya bertahan selama 3 bulan saja. Selanjutnya aku juga termasuk jenis manusia yang melupakannya. Entah kenapa.

^^^
Malam begitu dingin. Sulbiku seperti ada yang menusuk-nusuk. Aku terguncang mendengar kabar Clara disiksa dipenjara. Oleh Sipir yang menjaganya. Sipir itu begitu kejam pada Clara. Ia memperkosa Claraku yang sudah tak berdaya. Akupun tak bisa berbuat banyak. Clara tak pernah mengabarkan keadaannya kepada orangtuanya. Sengaja biar tuntas deritanya selama ini. Clara juga jadi begitu membenciku—menghapus namaku dari memori ingatannya.

Hanya pena yang jadi teman titik air mataku. Aku beranikan diri menulis surat. Surat ini nantinya akan kusampaikan kepada Mahkamah Konstitusi, eh Salah Mahkamah Agung maksudku atau bahkan Menteri HAM, sebenarnya sih ingin langsung ke Pak SBY tapi aku khawatir akan terbengkalai. Sudah terlalu panjang daftar masalah negeri ini. Jangankan kasus seperti ini kasus Ruyati yang riwayatnya tamat di Ujung Pedang Arab pun hanya lewat selayang pandang, padahal keluarganya sangat berbekas pada suku kalimat “Tak ada yang peduli kami” terpahat abadi dalam hati mereka.

Kutulis juga kisah pertemuanku dengan Clara pada sebuah kertas HVS yang di belakangnya sudah terdobeltip—kutempelkan di dinding. Kutulis permintaan maafku yang dalam sedalam Laut Hitam, lalu kutempelkan pula. Setiap waktu kuhabiskan untuk menulis, mencorat-coret, melukis sketsa wajah Clara dan begitulah warna di hariku.
Hingga terdengar suara seseorang menggiringku.
“Masuk-masuk ke kamar sana! kamu keluar pasti mengotori dinding terus.” ujar seorang pria berkostum putih-putih yang selama ini merawatku. Dia dokter di Rumah Sakit Jiwa Harapan Bunda.

Embun Fajar – 11 Juli 2011 Pukul 12.35 wib di ARTCOM ternyaman.

Mohon maaf apabila terjadi kesamaan nama, tempat atau lainnya. Ini hanya cerita fikif belaka. Maaf ya klo ada yang bernama Clara! Sumpeh gue Cuma ngayal, Cuma mau olahraga otak kanan yang hampir jarang dilatih. Dari 3 kata : Lari, Pena dan Kamar saya mencoba mengaduk-aduknya hingga hancur begini…hiii…hii….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar