Selamat Datang, Semoga banyak ilmu yang Anda dapatkan...

Minggu, 10 Juli 2011

Seputih Awan


oleh Fajar Kustiawan pada 04 Juli 2011 jam 21:22

Embun pagi hinggap di pucuk dedaunan. Bulatannya jernih, menitik jatuh di mahkota adenium obesumdijatuhkannya kembali ke flora yang lebih bawah. Hingga titisan airnya ikut bergabung—berenang bersama riak sungai Kelekar.

Kupandangi fenomena alam ini hampir tiap pagi sambil bertapa di jamban belakang rumah. Dari sinilah aku sering mendapat ide untuk menulis. Luar bisa ternyata aku dapat pelajaran menarik pagi ini bahwa apa yang telah diberikan alam akan kembali ke alam lagi. Seperti halnya proses sirkulasi air di sungai menguap, panasnya naik bergabung ke awan, kalau sudah cukup konsentratnya maka awan akan bertransformasi jadi hujan atau sekedar embun yang jatuh ke pepohonan, dedaunan dan akhirnya ke bumi lagi.

Ah, aku jadi ingat sohibku Awan. Ia begitu memberiku pandangan baru tentang seorang teman. Ia seperti alam yang di utus dengan nama Awan dan bermaksud memberikan pelajaran hidup untukku.

Awan belum genap setahun ikut ngaji dengan kami yang hampir masuk tahun ke-5 tapi jujur secara penerapan aku iri padanya. Awan bukanlah ikhwan tulen kalau kita menilainya dari tampilan. Dari atas akan aku deskripsikan makhluk aneh satu ini. Rambut jangan harap pendek rapi, dia lebih sering tampak panjang atau bahkan pernah dia menunjukkan fotonya dahulu waktu habis tamat SMA rambutnya terurai panjang sepanjang aliran sungai Kelekar (ber-lebaaaaay-an…) pernah pendek tapi mode ala CR7 “Kata cewek sih keren” ucapnya.

Awan lebih sering pake baju kaos sekenanya, tapi sopan—motif atau gambarnya nggak macem-macem. Celana jeans juga sering ia kenakan tapi tak ada pake acara bolong-bolongan. Ada satu lagi yang tak pernah ia tinggalkan. Rantai dompet, ya rantai kapal kalau aku sering nyindirnya. Tidak terlalu besar sih tapi setahuku rantai dompet yang lebih kecil ada, atau tali rapia aja. Awan kontan ngakak saat aku komen seperti itu.
Awan pernah bercerita bahwa dulu dia sudah berkali-kali kehilangan dompet “dicopet” tanyaku. Dia menggeleng, katanya dia itu punya penyakit pelupa akut tapi belum sampai pada taraf amnesia. Jadi terkadang dompetnya tinggal, jatuh, atau tercecer nggak karuan.
“Ini tak lebih dari sekedar sugesti Sob! Tak ada niat buat gaya-gayaan kayak anak punk-punk ketipak tipang itu. Alhamdulillah bi idznillah dan perantaraan rantai ini aku tak pernah kehilangan dompet lagi.” Ujarnya menjelaskan.
Dulu sebelum rantainya sebesar yang sekarang dia pernah coba yang kecil dan halus, tapi katanya mudah berkarat dan kusam-masai, malah nggak enak kalo ntar dia dapat julukan dekilman.

***
Okelah, aku tahu betul sohibku satu ini. Berbeda sekali denganku. Celana jeans belum pernah menginap di lemariku, baju kaos ada, tapi minoritas di banding kemeja dan baju kokoku. Kalau keluar rumah aku lebih sering pake kopiah, kemeja lengan panjang dan sepan dasar. Oh ya, kalau Awan punya rantai aku punya kacamata. Bukan gayaan teman tapi karena mataku rabun. Aku penderita miopi.

Kalau saja Awan seorang wanita mungkin aku sudah jatuh hati padanya. Hatinya sangat lembut, pemurah, dan perhatian tidak senorak gayanya. Hal termanis yang aku selalu ingat. Awan pernah mebelikanku sandal jepit. Eits, bukan barangnya yang jadi penilaianku tapi caranya. Waktu itu hari naasku, usai sholat Jum’at biasalah kalau teman-teman menyaksikan pemandangan salah satu jemaah yang kebingungan mencari sandalnya yang hilang, hampir di setiap masjid dan di setiap jum’at selalu ada korban. Jum’at ini aku korbannya.
Sandalku satu-satunya yang cukup bagus menurutku dan tentunya menurut si pengambil—hilang. Ternyata ketua masjid sudah antisipasi masalah ini, memang sudah dianggarkannya, lalu ia menyuruh marbot masjid mengeluarkan sandal dari sebuah kotak. Keluarlah sepasang sandal ‘Jepang’ warnaya sudah sedikit pudar, lecek, kotor, tapi bentuknya masih sempurna seperti sandal. “Ah, lumayan daripada pulang kerumah nyekerman.”
Dari situlah aku akrab dengan sandal itu, ia tak tergantikan bukan karena nilai historinya tapi karena memang tidak ada uang buat ganti yang bagusan dikit. Sandal itu sering kupakai rapat, temu kader, menghadiri majelis taklim, ryadho, ke jamban, ke bank, ke kantor ah, pokoknya multifungsi dah! Sampai akhirnya sandal itu hilang di masjid tempat kami ngaji bareng Awan.
“Masyaallah… ini tidak bisa dibiarkan, sandal begitu juga masih disikat. Kelewatan nih maling, miskin amat.” Gerutuku.
“Ada apa coy?” tanya Awan penasaran melihat muka masamku.
“Sandalku ada yang naksir.” Jawabku kesal.
“Gini, di jok motorku ada sandal yah lumayanlah untukmu, gimana mau?” Awan menawariku asa.

Aku mengangguk tanda setuju. Kami kembali ke tempat ngaji dan sepulangnya dia mengeluarkan sandal yang ia maksud.
“Wah, ini mah bagus coy!” kataku ikut-ikutan gayanya.
“Berapa nih?” tanyaku sok punya duit.
“Emang lu pikir gue tukang jual sandal. Sudah ini buat luh deh gue kasian ama nasib lho!” ejek Awan.
“Kutukupret dah, tapi syukron akh!” tutupku girang.

***
Belakangan aku baru tahu ternyata sandal yang di masjid itu dia yang mengambilnya diam-diam. Dimasukkan kedalam tasnya. Lalu ia bermaksud menukar dengan yang menurutnya sandal layak pakai, “Masak aktivis kacau seperti ini sandalnya.” Dia tidak ingin juga ketahuan pemberiannya secara langsung takutnya aku tersinggung, menurutku dia psikolog mahir menggunakan prinsip perasaan kepepet lebih halus dan menusuk. Makin kagum aku dengannya.

Awan mengingatkanku pada Air yang menajadikannya awan dan pada awan yang menjadikannya hujan, pada hujan yang menjadikannya kumpulan air dan air mengalir lagi ke sungai Kelekar (promosi Sungai di kota sendiri, Hidup Prabumulih!!!)

***

Kami sudah hafal betul materi dari Ustadz Chandra tentang Bab Ukhuwah Islamiyah, tapi pada pelaksanaannya Awan lah yang lebih baik. Walau ia baru bergabung ngaji tapi dia sudah sangat paham apa itu ta’aruf, takaful dan tafahum lebih dari kami. Aku ingat betul ketika ia memperhatikan ada seorang diantara kami yang saban dateng ngaji atau kemana saja pake tas panggung yang sudah sobek, lusuh dan jahitannya sudah ingin berontak keluar belum lagi rel slitingnya yang sudah tak bisa meluncur normal.

Sampai kami berkumpul bersama untuk berbuka puasa senin-kami bareng sekaligus merayakan ulang tahun pengajian kami. Setiap orang wajib membawa kado bebas untuk tuker-tukeran hadiah. Diantara semua kado yang kami bungkus ada satu kado pamungkas disebut begitu karena memang biasanya kemasannya lebih besar dari yang lain. Nah, kado itu dibagikan untuk orang terakhir. Pembagiannya pake sistem guncang nama. Tahukah kau teman? Kami semua mendapatkan kado yang biasa, tapi satu kado pamungkas itu dapat oleh seseorang. Ya, seseorang teman yang memang layak mendapatkan barang itu. Dan kau teman pasti sudah menebak siapa yang mendapatkannya dan apa barangnya bukan? Ya, Tas baru dan bagus untuk seorang teman yang kami tak pernah hirau kecuali Awan. Awanlah yang mendesain itu semua, halus dan menusuk kalbu. Menganggumkan.

Tetaplah begitu kau Awan!
Teruslah kau menaungi kami!
Walau bayak yang lain mencibir luarmu.
Tapi kau tetaplah Awanku yang dalam, tinggi, luas dan putih.
Seperti hatimu. Kaulah inspirasiku hidupku…

Embun Fajar – Prabumulih, 02 Juli 2011 Jam 10.40 WIB
Teruntuk seorang sahabat disana yang mengerti dan memahami aku. Terima kasih atas cinta dan perhatianmu. Semoga Allah membangunkan rumah di surga untukmu.

Biar nyambung :
Ikhwan : Sebutan untuk laki-laki yang memahami Islam
Ryadho : Olahraga/gerak tubuh
Syukran : Terima kasih
Akh : Panggilan saudara laki-laki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar